Mereka Yang Kejam Dan Pembenci Adalah Manusia-manusia Yang Paling Hina Di Dunia Ini
Om Swastyastu semeton Pesona Taksu Bali, kali ini kita akan membahas tentang "Motivasi" Sebelum itu jangan lupa untuk mengunjungi Instagram kami juga ya @pesona_taksubali
Mereka yang kejam dan pembenci, adalah manusia-manusia yang paling hina di dunia ini; Aku campakkan mereka berkali-kali ke dalam kandungan raksasa, Terjerumus ke dalam kandungan raksasa, mereka yang bingung ini, dalam berbagai kelahirannya tak akan pernah mencapai-Ku, sehingga mereka jatuh ke jalan paling rendah, wahai Kuntiputra
(BhagavadGitaXVI-19 dan 20)
Naluri merupakan bagian dari kebinatangan, akal-budi merupakan bagian dari kedewataan atau keilahian. Semakin sering dan semakin cenderung seseorang menggunakan nalurinya, ciri dari semakin kuat kebinatangannya. Seperti halnya naluri, intuisipun memberi kepekaan kepada manusia. Bedanya, kalau kepekaan yang diberikan oleh naluri bertumpu pada kondisi fisikal dan kinerja indriawi, maka kepekaan dari intuisi bertumpu pada kondisi spiritual dan kinerja rokhani. Kalau naluri lebih dibutuhkan guna tetap bertahan hidup (survival-insting), maka intuisi dibutuhkan untuk meningkatkan martabat-kelahiran.
Hadirnya pikiran dan terutama akal-budi memberi kelebihan manusia dibandingkan dengan binatang. Ia lebih halus dari naluri, namun lebih kasar dari intuisi. Ia merupakan ciri kemanusiaan kita. Akal-budi memberi manusia kemampuan untuk membedakan antara : baik dengan buruk, benar dengan salah, pantas dengan tak-pantas, patut dengan tak-patut, dan sejenisnya, yang tidak bisa diberi oleh naluri. Sejauh-jauhnya, naluri hanya mampu memberi manusia kemampuan untuk membedakan antara: bagus dengan jelek, enak dengan tidak-enak, nyaman dengan tidak-nyaman, menyenangkan dan tidak menyenangkan atau hal-hal sejenis yang bertumpu kuat pada kepekaan dan kinerja indriawi.
Naluri, akal-budi dan intuisi, ketiganya bisa diasah. Sebagai manusia hendaknyalah kita lebih mengasah akal-budi ketimbang naluri; dan sebagai manusia yang mendambahkan keilahian, hendaknyalah kita memilih untuk lebih mengasah intuisi ketimbang akal-budi. Kalau kuatnya naluri mencerminkan masih kuatnya kebinatangan seseorang, dan kuatnya akal-budi mencerminkan kuatnya kemanusiaan seseorang, maka kuatnya intusi mencerminkan sudah kian kuatnya keilahian.
Manusia yang kebinatangannya masih kuat, di dalam mithologi-mithologi digambarkan sebagai raksasa atau asura. Pada raksasa, baik naluri maupun akal-budi sama kuatnya. Kalau binatang lebih didominasi oleh sifat tamas dan rajas, maka pada raksasa juga demikian. Namun kelebihannya, pada raksasa sudah mulai ada unsur sattwam-nya.
Semakin kuat unsur sattvam pada raksasa, semakin manusiawilah ia jadinya. Raksasa merupakan wilayah transisi dari binatang ke manusia. Unsur sattvam yang masih remang-remang pada raksasa, sudah semakin jelas pada manusia.
Umumnya, pada manusia masing-masing guna ada dalam keseimbangan proporsinal. Meningkatnya kadar tamasika, menguatkan kebinatangannya. Meningkatnya kadar rajasika menguatkan keraksasaannya. Meningkatnya kadar sattvika, menguatkan kemanusiaannya. Kian menurunnya kadar tamasika-nya yang juga diikuti dengan kian naiknya kadar sattvika-nya, menguatkan kedewataannya. Sirnanya sifat tamasika-nya serta melemahnya rajasika-nya sehingga menjadi sedemikian kuat sattvika-nya menjadikannya manusia-dewa atau vasu. Sattvam sudah bercahaya terang pada dewa. Kendati masih punya rajas, pada para dewa sifat tamas sudah sirna. Makanya manusia dikatakan bak 'makhluk dalam persimpangan,' persimpangan antara raksasa (asura) atau manusia yang masih kuat kadar kebinatangannya, kadar rajas dan tamas-nya dengan dewa (sura).
Jadi bagaimana semeton ? Bermanfaat tidak informasi dari blog kami ? Jika bermanfaat jangan lupa untuk meninggalkan komentarnya ya terima kasih.
Via : pesonataksubali.blogspot.com/phdi.or.id
Foto By : @kakang_photoworks (ilustrasi)


Comments
Post a Comment