Pantangan Dan Persembahan Yang Wajib Diketahui Dibalik Keramatnya Kajeng Kliwon

 


Om Swastyastu semeton Pesona Taksu Bali, kali ini kita akan membahas tentang "Kajeng Kliwon" Sebelum itu jangan lupa untuk mengunjungi Instagram kami juga ya @pesona_taksubali.


Kajeng Kliwon merupakan hari raya Hindu yang dilaksanakan setiap 15 hari sekali berdasarkan perhitungan kalender Bali. Hari Raya ini merupakan pertemuan antara Tri Wara yakni Kajeng dengan Pancawara yakni Kliwon. Biasanya umat Hindu merayakannya dengan melakukan persembahyangan di merajan masing-masing.


I Gede Sutarya dalam Bangli Explore Pariwisata Budaya, Agama dan Spiritual mengatakan saat Kajeng Kliwon, umat biasanya mengaturkan tipat dampulan (ketupat besar), tipat kelanan (tipat yang lebih kecil berjumlah enam buah) dan ada juga yang mengaturkan tipat gong (ketupat yang bentuknya seperti gong). Semua katupat ini dilengkapi dengan taluh bakasem (telur asin). "Semua upacara tersebut dipersembahkan kepada panunggun karang (penjaga pakarangan)," katanya.


Sutarya juga menuliskan, saat Kajeng kliwon, umat biasanya melakukan upacara bhuta yadnya. Hal dikarenakan orang Bali percaya jika Kajeng Kliwon merupakan hari untuk bhuta kala. Dahulu, saat Kajeng Kliwon biasanya masyarakat takut ke luar rumah sebab mereka tak jarang menemukan makhluk-makhluk gaib. "Mereka masih percaya bahwa jika ingin melihat mahluk halus, berjalanlah malam hari tepat Kajeng Kliwon," tulisnya.


Selain itu, sesuai dengan filsafat Hindu di Bali, Kajeng Kliwon memang bermakna waktu kematian. Kajeng Kliwon adalah perpaduan hari yang berada di pertengahan, Kajeng berada di tengah dan Kliwon juga berada di tengah. "Tengah merupakan posisi Dewa Shiwa, yang merupakan dewa pelebur. Sakti dari dewa ini adalah Dewi Durga yang merupakan dewi kematian. Jadi, posisi tengah adalah posisi kematian menurut kepercayaan Hindu di Bali. Sebab, kematian, menurut umat Hindu, bukanlah akhir tetapi tengah perjalanan menuju kehidupan yang lain," imbuhnya.


Suguhan di halaman rumah ditujukan kepada Sang Bhuta Bhucari. Suguhan di jalan keluar-masuk perumahan ditujukan kepada Sang Durga Bhucari.


Persembahan Saat Kajeng Kliwon Sehingga pada saat kajeng kliwon, dalam babad bali disebutkan agar dapat melaksanakan upacara yadnya yang hampir sama dengan upacara Keliwon biasanya, hanya saja segehan-segehannya bertambah dengan nasi-nasi kepel lima warna, yaitu: merah, putih, hitam, kuning, brumbun Tetabuhannya adalah tuak / arak berem. Di bagian atas, di ambang pintu gerbang (lebuh) harus dihaturkan, canang burat wangi, dan canang yasa. Semuanya itu dipersembahkan kepada Ida Sang Hyang Durgha Dewi. Di bawah / di tanah dihaturkan segehan, dipersembahkan kepada Sang Tiga Bhucari : Sang Butha Bucari, Sang Kala Bucari, dan Sang Durgha Bucari. Sehingga adanya peringatan dan upacara yadnya pada hari kajeng kliwon ini, dengan harapan bahwa baik secara sekala maupun niskala dunia ataupun alam semesta ini tetap menjadi seimbang.


Selain Sang Tigabhucari masih ada jenis bhuta yang sering menganggu manusia dalam melaksanakan dharma agamanya. Para bhuta tersebut ada :


I. Berwujud manusia :

1. Bake : bertubuh hitam seperti manusia, selalu muncul tengah malam tingal disemak-semak.

2. Bakis-botong : berwujud manusia kate, berkepala gundul, berkulit putih pucat, dia muncul siang hari, tinggal dirumah manusia yang kosong tanpa penghuni.

3. Memedi : seperti manusia berambut merah seperti api, kulit menyala merah, muncul pada waktu tengah hari bertempat tinggal ditegalan kosong.

4. Papengkah : berwujud manusia dengan perut gendut, besar dan buncit. Muncul pada waktu siang dan malam hari tinggal disembarang tempat.

5. Raregek-tunggek : berwujud gadis cantik tetapi punggungnya terbuka tanpa tulang belakang dan tulang iga (di Jawa disebut Sundel Bolong) sehingga isi rongga dadanya dan isi perutnya kelihatan dari belakang. Dia tinggal di semak belukar, di air terjun, dekat danau, sumur, payau, kuburan sering muncul malam hari.

6. Samar : berbentuk manusia tetapi tanpa lekukan pada bibir atas, berdiam di semak-semak, dan muncul sore hari. Biasanya berkumpul menjadi satu keluarga seperti manusia, sehingga sering disebut wong samar dan hidup seperti manusia tetapi tidak dapat dilihat oleh manusia awam. Sewaktu-waktu jika dia berkehendak dilihat oleh manusia dia akan memperlihatkan dirinya dan bergaul dengan manusia. Di Bali mayoritas wong samar ini bertempat tinggal di daerah Pulaki Buleleng. Pada umumnya wong samar ini bersifat baik.

7. Tonya : berwujud manusia tinggi besar, berdiam di pohon yang rindang dan besar. Paling senang diam dipohon beringin, bunut, kepuh, rangdu dan sejenisnya. Tonya ini jarang berkeliaran tidak pernah pergi jauh dari pohon tempat tinggalnya. Sering muncul pada malam hari, jarang siang hari


II. Berwujud binatang

1. Anja-anja : berwujud binatang berkaki empat berkepala seperti raksasa, mata melotot besar dengan mulut lebar bertaring panjang dan berambut terurai.

2. Banaspati-raja : berwujud macan. Sering dari badannya keluar api, sehingga seperti harimau terbakar.


Pada Lontar Sundarigama disebutkan Nihan taya amanah, kunang ring panca terane, semadi Bhatara Siwa, sayogia wong anadaha tirtha gocara, ngaturaken wangi ring sanggar, muang luwuring paturon maneher menganing akna cita. Wehana sasuguh ring natar umah, sanggar, ring dengen, dening sega kepel duang kepel dadi atanding, wehakna ada telung tanding, iwaknia bawang jae. Kang sinambat ring natar, Sang Kala Bucari. Ring sanggar Bhuta Bucari. Ne ring dengen, Sang Durga Bucari Ika pada wehana labaan, nangken kaliyon, kinon rumaksa umah, nimitania. Pada anemu sadia rahayu. Kunang yan kala biyantara keliyon, pakerti tunggal kayeng lagi.


Berarti, ketika Pancawara Kliwon, merupakan saat beryoganya Bhatara Siwa. Umat saat ini melakukan penyucian dengan menghaturkan wangi-wangian pada merajan, dan diatas tempat tidur. Selain itu, di halaman rumah, halaman merajan dan pintu keluar masuk pekarangan rumah, juga mempersembahkan segehan kepel sebanyak dua kepel yang dibuat dalam satu tandingan. Di setiap tempat itu, juga disuguhkan tiga tanding segehan kepel yakni di halaman merajan untuk Sang Bhuta Bhucari, di pintu keluar masuk untuk Sang Durgha Bhucari, serta di halaman rumah untuk Sang Kala Bhucari.


Hanya manusia yang telah melaksanakan dharma dan selalu ingat lan eling ngastiti bhakti ring Dewa Siwa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) badannya tidak bisa dilekati oleh para bhuta-bhuti dan Panca Mahabhuta (Sri Durga Dewi / akasa / timur, Dadari Durga / teja / selatan, Sukri Dewi / bayu / barat, Raji Durga / apah / utara, Dewi Durga / pertiwi / dalam tanah). Kalau manusia kuat dan mampu mengendalikan lima bhuta ini maka mereka akan menjadi sahabat manusia, dan sehatlah manusia. Tetapi kalau manusia mencemari unsur Panca Mahabhuta ini maka dimusuhilah dan krodalah dia menjadi durga menyebabkan manusia menjadi sakit.


Jadi bagaimana semeton ? Bermanfaat tidak informasi dari blog kami ? Jika bermanfaat jangan lupa untuk meninggalkan komentarnya ya terima kasih.

Via : pesonataksubali.blogspot.com/telusurbali.com/yanartha.wordpress.com

Foto By : telusurbali.com

#pesona_taksubali

Comments

Popular posts from this blog

Makna Asu Bang Bungkem Dalam Sejarah Upacara Caru Hindu Di Bali

Kewajiban Orang Tua Pada Anaknya Menurut Kepercayaan Agama Hindu Di Bali

Makna Mimpi Atau Primbon (Baik Dan Buruk) Menurut Agama Hindu

Proses Watangan Mapendem/Mengubur Mayat Yang Bangkit Kembali Dalam Calonarang

Bagaimanakah Ciri - Ciri Sebenarnya Dari Zaman Kali Yuga Menurut Kitab Suci Hindu ?

Beginilah Cara Mengintip Leak Yang Sedang Rapat/Meeting Di Malam Hari

Benarkah Menginjak Canang/Sesajen Di Bali Bisa Celaka atau Mendapat Kesialan ?

Apakah Lahir "Melik" Sebuah Anugrah Yang Beresiko Kematian ? Simak Selengkapnya

Inilah Sosok Penemu Tari Gopala Yang Merupakan Penggambaran Aktivitas Pengembala