Upacara Sipatan Yang Bermakna Meminimalkan Kehamilan Pada Usia Muda Atau Pra-Nikah
Om Swastyastu semeton Pesona Taksu Bali, kali ini kita akan membahas tentang "Upacara Sipatan" sebelum itu jangan lupa untuk mengunjungi Instagram kami juga ya @pesona_taksubali
Grhasta Asrama Adalah tingkat kehidupan berumahtangga. Masa Grehasta Asrama ini adalah merupakan tingkatan kedua setelah Brahmacari Asrama. Dalam memasuki masa Grehasta diawali dengan suatu upacara yang disebut Wiwaha Samskara (Perkawinan) yang bermakna sebagai pengesahan secara agama dalam rangka kehidupan berumahtangga (melanjutkan keturunan, melaksanakan yadnya dan kehidupan sosial lainnya).
Sebelum memasuki jenjang Grahasta Asrama, hubungan sek (sanggama) dilarang oleh ajaran Agama Hindu. Agama mengajarkan agar manusia dalam menempuh jenjang kehidupan sesuai dengan tingkatan yang digariskan oleh Catur Asrama. Pada masa Brahmacari diharapkan mampu mengendalikan diri terhadap hubungan sek.Pada masa ini, hubungan sek (sanggama) akan mengganggu kecerdasan spiritual.
Menurut pandangan masyarakat Desa Pakraman Kuum bahwa terjadi kehamilan sebelum adanya prosesi upacara perkawinan dipandang sebagai pencemaran terhadap wilayah desa pakraman. Pelaku tidak diperkenankan untuk memasuki Kahyangan tiga yang dimiliki oleh Desa Pakraman Kuum. Hal ini beralasan karena bagi mereka yang menghamili ataupun yang dihamili akan menjadi bahan pembicaraan oleh krama desa pakraman. Perbuatan yang demikian dipandang sebagai perbuatan yang kurang baik. Adanya kehamilan sebelum adanya prosesi upacara perkawinan dianggap ngeletehin baik terhadap anak yang masih dalam kandungan, kedua mempelai maupun wilayah desa pakraman. Perbuatan yang demikian akan mengakibatkan ketidakseimbangan sehingga mengganggu keharmonisan desa pakraman.
Untuk meminimalkan hubungan sek yang berakibat kehamilan, Desa Pakraman Kuum mewajibkan malaksanakan Upacara Sipatan bagi mereka yang dihamili maupun yang menghamili. Upacara Sipatan dikenakan bagi mereka yang menghamili maupun yang dihamili sebelum adanya prosesi upacara perkawinan. Apabila terjadi kehamilan sebelum adanya prosesi upacara perkawinan, Upacara Sipatan tidak dilaksanakan sesuai dengan Awig-awig yang ada, pelaku harus menanggung akibatnya seperti tidak diperkenankan memasuki pura kahyangan tiga serta tidak dikenankan untuk melakukan upacara perkawinan secara adat seperti Upacara Bakatan, Upacara Merebu dan Upacara Naur Kelaci yang dilaksanakan di Pura Bale Agung.
Upacara Sipatan ini upakaranya hanya berupa banten pajegan (menurut masyarakat setempat) ditambah dengan babi (kucit) ukuran 4 (empat) lengkap melingkar. Babi yang digunakan dalam Upacara Sipatan tersebut, menjadi milik Desa Pakraman. Babi ini dapat diambil kembali oleh keluarga mempelai dengan menyetorkan sejumlah uang ke kas desa pakraman, sesuai dengan keputusan pararem. Bila babi tersebut tidak diambil oleh pengantin, maka dijual kepada warga masyarakat melalui proses lelang atau dengan penawaran tertinggi.
Hubungan sek dapat dibenarkan apabila adanya Dewa Saksi, Manusa Saksi dan Bhuta Saksi. Menurut Mas Putra (2006;50) menyatakan bahwa pembuahan (pertemuan kamajaya dan kama ratih) yang terjadi dengan tidak didahului oleh suatu upacara-upacara pakala-kalaan atau byakaonan dianggap tidak baik, dan disebut "kama keparagan". Menurut Sura (acara Dewata TV tgl 26-12-2008) mengatakan bahwa tingkah laku yang tidak sesuai dengan hukum alam dan aturan-aturan hidup bersama, dianggap membawa dampak buruk terhadap kehidupan. Hal ini akan menimbulkan adanya ketidakseimbangan atau ketidakharmonisan dalam kehidupan. Untuk mengembalikan keharmonisan tersebut perlu dibuatkan upacara.
Berdasarkan kamus Bahasa Indonesia-Bali, kata sipatan berarti mengutuk. Agar terhindar dari kutukan tersebut, pasangan yang menghamili maupun yang dihamili dikenakan Upacara Sipatan. Hal ini bertujuan agar terhindar dari kutukan, baik oleh masyarakat maupun Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan), untuk mengharmoniskan kembali rasa bersalah tersebut dilaksanakan Upacara Sipatan. Hal ini akan berpengaruh terhadap keharmonisan kedua mempelai, keluarga, masyarakat serta bayi yang masih ada dalam kandungan. Untuk itu, bagi mereka yang menghamili maupun yang dihamili dikenakan Upacara Sipatan untuk menghilangkan leteh/ cemer desa pakraman. Dengan demikian, Upacara Sipatan sebagai sarana untuk mengembalikan keharmonisan desa pakraman, pelaku dan janin yang masih ada dalam kandungan.
Jadi bagaimana semeton ? Bermanfaat tidak informasi dari blog kami ? Jika bermanfaat jangan lupa untuk meninggalkan komentarnya ya terima kasih.
Via : Pesonataksubali.blogspot.com/phdi.or.id/hindualukta.blogspot.com
Foto By : @matangivisuals (ilustrasi)
Comments
Post a Comment