Taukah Semeton Makna Upacara Madeeng Yang Ada Di Buleleng ? Simak Selengkapnya
Om Swastyastu semeton Pesona Taksu Bali, kali ini kita akan membahas tentang "Madeeng" Sebelum itu jangan lupa untuk mengunjungi Instagram kami juga ya @pesona_taksubali.
Medeeng adalah nama satu rangkaian kegiatan upacara yang berkaitan dengan upacara kematian, ngaben. Upacara medeeng ini adalah khas Buleleng, Bali Utara. Sebuah upacara yang lebih banyak melibatkan para kaum muda. Menurut pengakuan beberapa orang tua warga Buleleng, upacara ini adalah ajang pamer kegagahan dan kecantikan anggota keluarga. Di Bali Selatan ada upacara sejenis, yang disebut mepeed, kemeriahannya kalah oleh medeeng.
Dulu, upacara ngaben dilakukan secara individual. Sifat upacaranya kompetitif dan jor-joran. Tiap keluarga berusaha menghadirkan kemewahan dalam pelaksanaan upacaranya. Sangat boleh jadi upacara ngaben menjadi upacara mahal yang menyedot biaya yang amat besar. Persiapannya memakan waktu satu bulan penuh. Bisa dibayangkan!
Ketika Gunung Agung meletus, tahun 1963, banyak mayat yang harus diaben. Terutama orang-orang yang sudah tidak memiliki apa-apa lagi. Hal itu menjadi masalah besar. Berangkat dari permasalahan tersebut, mulailah ada gagasan untuk mengadakan upacara pengabenan secara massal. Konon, yang meneratas jalan untuk mengadakan upacara pengabenan massal itu adalah masyarakat di daerah Pengastulan, Buleleng. Dan, hingga kini, ngaben massal sudah merupakan hal yang umum dilakukan di Bali.
Akhir-akhir ini, tradisi deeng sudah mengalami beberapa perubahan. Dahulu biasanya para deeng tidak menggunakan alas kaki sepanjang perjalanan mengelilingi desa dengan makna sebagai bentuk penghormatan terakhir kepada sang lina, namun sekarang deeng diperbolehkan menggunakan alas kaki. Hal ini bisa dimaklumi mengingat jalan yang mereka lintasi berupa aspal dan dilakukan pada saat matahari masih terik. Kemungkinan dahulu belum ada aspal dan jalan yang dilalui berupa tanah sehingga deeng tidak mengalami kesulitan meski tanpa alas kaki.
Perubahan lainnya adalah, dahulu deeng dilakukan memang khusus untuk deeng dengan iring-iringannya, namun saat ini sangat jarang yang melakukannya mengingat memerlukan biaya yang cukup besar untuk menyiapkan semuanya. Meski demikian, orang Buleleng tidak meninggalkan begitu saja tradisi tersebut. Mereka menyiasatinya dengan memasukkan iringan deeng pada saat nunas toya ning atau manah tirta di sumber mata air yang dianggap suci oleh masyarakat. Seperti yang dilakukan oleh warga Banjar Badung Desa Bungkulan Buleleng pada saat melaksanakan upacara ngaben bersama atau sadaya.
Mereka memasukkan iringan deeng sekitar 20 pasangan pada saat nunas toya ning ke sumber mata air atau petirtan di desa tersebut. Dalam istilah masyarakat Desa Bungkulan tempat petirtan itu disebut panti. Makna deeng masih tetap sama yaitu untuk mengantarkan sang lina menuju alam nirwana serta bentuk suka cita para keturunan dan kerabat karena sudah mampu melakukan upacara pengabenan sebagai bentuk pengamalan ajaran Panca Yadnya dan Tri Rna.
Jadi bagaimana semeton ? Bermanfaat tidak informasi dari blog kami ? Jika bermanfaat jangan lupa untuk meninggalkan komentarnya ya terima kasih.
Via : Pesonataksubali.blogspot.com/Kompasiana.com/angkulangkulbali.blogspot.com
Foto By : Rangkuman Google (ilustrasi)
Comments
Post a Comment