Makna Genta dalam Fisiologi Jantung Manusia
Om Swastyastu semeton Pesona Taksu Bali, kali ini kita akan membahas tentang "Genta" sebelum itu jangan lupa untuk mengunjungi Instagram kami juga ya @pesona_taksubali
Kata genta berasal dari bahasa sansekerta ghanta yang berarti bel atau lonceng yang pada umumnya diujungnya dilengkapi dengan wajra / bajra bergigi lima dimana dalam sejarah Genta Perunggu Zaman Hindu-Budha di Indonesia disebutkan bahwa tinggalan purbakala ini berasal dari abad ke-7 M.
Genta sebagai sarana yang digunakan dalam mengiringi puja dan mantra oleh pemangku atau para sulinggih dalam memimpin pelaksanaan upacara yadnya. Dengan dentingan suaranya, semerbak wangi bunga dan dupa beserta alunan gamelan yang menghanyutkan keharuan dalam mengiringi perkembangan agama Hindu untuk dapat melepaskan kerinduan mereka akan suasana magis Bali yang dicintai.
Om Omkara Sadasiwa sthahjagatnatha hitangkara-habhiwada wadanyahghanta sabda prakasyate
Om Ghanta sabda maha srestah Omkara parikirtitah Chandra nada bhindu nadan-tamspulingga Siwa tattwan ca
Om Ghantayur pujyate dewahabhawya bhawya sadeyahwara siddhir nih sansayam
Demikian mantra pada saat sang pandita melakukan penyucian terhadap genta yang akan digunakan untuk memimpin upacara. Apa yang dapat kita pahami dari alat pemujaan tersebut? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia arti genta sendiri adalah alat bunyi-bunyian yang terbuat dari logam berbentuk cangkir terbalik dengan sebuah pemukul yang tergantung tepat di porosnya dalamnya, apabila pemukul itu mengenai dinding cangkir, cangkir tersebut akan menghasilkan bunyi-bunyian.
Genta dan bajra sudah lumrah kita temukan dalam upacara keagamaan, genta sebagai senjata Dewa Iswara memiliki keagungan yang sangat luar biasa dalam Lontar Kusuma Dewa disebutkan:
“Nihan pawekasing batara, ring pemangkun ida, yang rawuh patatoyan ida ring madia pada, kena pemangkun ida angasrening batara, angagem bajra patatoyan, maka weruh ikang mangku, kawit kertaning betara, yanora ngagem bajra, nora weruh ring kepemangkuan, anggo-raora, angiya-ngiya sira, angasa asa, nora kayum ida turun, apan sira tan meling ring kawit-kawitan kandaning pamangku”.
Genta menjadi penghantar persembahan kehadapan Hyang dan menjadi pertanda bahwa ditempat itu sedang dilakukan upacara, bahkan dapat mengundang para Dewa (Kukul Dewa). Tangan kiri yang menabuhkan genta memiliki makna agar genta selalu berada dekat dengan jantung manusia. Karena posisi jantung normal manusia berada dalam rongga dada sebelah kiri setinggi putting susu dan sebesar kepalan tangan kita. Benar saja disebutkan dalam Kidung Aji Kembang.
Ring purwa tunjunge putih, Hyang Iswara Dewa Tania, Ring papusuh pre-na-hira......
Dalam Puja Asta Mahabaya juga disebutkan :
Om Om Asta Maha Bhayaya, Purwa desaya, Iswara dewaya, sweta warnaya, Bajrahastraya, sarwa satru winasa ya ya namah.
Tentunya hal tersebut bukan hanya kebetulan belaka, jantung yang merupakan organ vital menusia berbentuk juga hamper menyerupai genta atau bajra. Ujung dari genta (palit) menyerupai ujung jantung yang disebut dengan ictus cordis. Terkadang pada tubuh yang kurus kita dapat lihat dan rasakan detakan ictus cordis pada bagian kiri dada tersebut.
Jantung secara sederhana dapat dibagi menjadi empat ruangan Atrium (serambi) kanan dan kiri serta Ventrikel (bilik) kanan dan kiri. Diantara ruangan tersebut akan dibatasi oleh septum atau penyekat. Darah yang masuk melalui pembuluh darah balik (Vena Cava Superior dan Inferior) akan masuk ke bagian serambi kiri kemudian bilik kiri dipompa ke paru-paru. Darah yang sudah mengalami pertukaran udara diparu-paru akan kembali ke jantung, masuk melalui serambi kiri diteruskan ke bilik kiri dan kemudian akan dipompa ke seluruh tubuh melalui pembuluh darah besar yang bernama Aorta.
Jadi bagaimana semeton ? Bermanfaat tidak informasi dari blog kami ? Jika bermanfaat jangan lupa untuk meninggalkan komentarnya ya terima kasih.
Via : Pesonataksubali.blogspot.com/Phdi.or.id/sejarahharirayahindu.blogspot.com
Foto By : Rangkuman Google (ilustrasi)
Comments
Post a Comment