Inilah Alasan Kenapa Perayaan Hari Raya Pagerwesi Di Buleleng Berbeda Dengan Daerah Yang Lainnya
Om Swastyastu semeton Pesona Taksu Bali, kali ini kita akan membahas tentang "Pagerwesi" sebelum itu jangan lupa untuk mengunjungi Instagram kami juga ya @pesona_taksubali
Bagi masyarakat di Kabupaten Buleleng, Hari Raya Pagerwesi adalah hari raya yang besar, sama seperti halnya Hari Raya Galungan dan Kuningan. Hal ini jauh berbeda dengan perayaan Hari Raya Pagerwesi di Daerah lain di Bali. Orang Buleleng juga terkadang menyebutnya dengan Rainan Pegorsi.
Lalu, kenapa Hari Raya Pagerwesi di Buleleng dilakukan dengan besar dan berbeda dengan daerah lain di Bali ? Akademisi dari Sekolah Tinggi Agama Hindu (STAH) Negeri Mpu Kuturan Singaraja Nyoman Suka Ardiyasa menjelaskan, ada beberapa faktor yang menyebabkan hal itu terjadi.
Menurutnya, sudah menjadi kepercayaan jika orang Buleleng merayakan Hari Raya Pagerwesi dengan sungguh-sungguh. Dijelaskan, ada petuah dari tetua Buleleng yang diwariskan turun-temurun yang mengamanatkan keturunannya untuk merayakan Pagerwesi secara sungguh-sungguh sebagai Perayaan Peneguhan Lahir Batin. Kebiasaan ini diwujudkan dengan melaksanakan perayaan secara meriah layaknya seperti perayaan Galungan kemenangan dharma melawan adharma.
Tradisi ini dilakoni warga yang memiliki kerabat yang sudah meninggal dunia dan jazadnya masih berada di liat lahat atau belum di-aben. Selesai mempersembahkan banten punjung di atas kuburan, warga Buleleng akan mengadakan acara santap bersama. Itu sebabnya, sejak pagi hari ini, kuburan di Buleleng cukup ramai dengan warga. Penyusun kalender Bali yang juga warga Buleleng, I Gede Marayana menuturkan tradisi perayaan Pagerwesi di Buleleng yang mirip dengan suasana perayaan hari Galungan memang sudah diwarisi sejak dulu.
Bagi orang Buleleng, menurut Marayana, Pagerwesi merupakan otonan jagad, sama dengan Galungan. "Galungan dan Pagerwesi itu sama-sama jatuh saat hari Buda Kliwon," kata Marayana yang sering memberikan dharma wacana. Perayaan Pagerwesi, kata Marayana, merupakan rangkaian hari Saraswati. Karena itu, pemaknaannya tidak bisa dilepaskan dari makna hari Saraswati dalam kehidupan. Pada hari Saraswati, menurut Marayana, manusia menerima anugerah ilmu pengetahuan lalu menyelami kedalaman ilmu itu pada hari Banyupinaruh.
Ilmu yang telah diraih itu digunakan sebagai bekal mengarungi kehidupan guna mendapatkan pangan (Soma Ribek) dan papan (Sabuh Mas). Setelah semua itu dicapai, kuatkanlah diri selayaknya pagar besi (Pagerwesi) agar bisa mencapai tujuan hidup yang sesungguhnya. Namun, Marayana menambahkan, perayaan spesial di hari Pagerwesi tidaklah terjadi di seluruh Buleleng. Perayaan meriah umumnya terlihat di Kota Singaraja.
Di daerah lain, perayaan Pagerwesi tak berbeda jauh dengan daerah lain di Bali Selatan, hanya diisi persembahyangan biasa. Memang, kalau dicermati, perayaan meriah Pagerwesi umumnya terlihat di daerah Buleleng Timur, seperti Kecamatan Buleleng hingga Tejakula. Sementara di Buleleng Barat, seperti Gerokgak hingga Busungbiu, perayaan Pagerwesi dilakukan secara sederhana.
Tidak ada sejarah yang pasti mengenai perbedaan tata cara merayakan Hari Raya Pagerwesi ini, namun jika kita sebagai umat Hindu menilik kembali pada kitab Manawa Dharmasastra, maka kita akan tahu bahwa semua ini kembali pada konsep yang tertuang pada Manawa Dharmasastra II.6, yang didalamnya termuat sistem dan asas hukum menurut Hindu, yaitu Sruti (Weda sebagai sumber utama), Smerti (hasil ingatan Dharmasastra yang menjadi pedoman), Sila (tingkah laku orang suci), Acara (tradisi), dan Atmanastuti (rasa puas diri).
"Acara inilah yang menjadikan atau menentukan umat Hindu mengaplikasikan ajaran Wedanya berbeda-beda. Karena Acara itu ada Purwa Dresta, yaitu Dresta yang dilakukan turun-temurun yang tak tertulis, tapi kita tidak berani tidak melakoni itu. Kemudian ada Sastra Dresta, yaitu pentunjuk melalui sumber sastra. Ada pula yang lebih kecil, yaitu Desa Dresta dan Loka Dresta, yang berlaku di suatu wilayah atau pun keluarga. Kemudian kenapa di Singaraja, perayaan Pagerwesi berbeda seperti Galungan? Karena berlaku dalam Loka Dresta ini,” jelas Nyoman Suardika, dosen Agama Hindu di STAHN Mpu Kuturan Singaraja.
Jadi bagaimana semeton ? Bermanfaat tidak informasi dari blog kami ? Jika bermanfaat jangan lupa untuk meninggalkan komentarnya ya terima kasih.
Via : Pesonataksubali.blogspot.com/hindualukta.blogspot.com/nusabali.com
Foto By : @tudana_photo.budaya (ilustrasi)
Comments
Post a Comment