Perhatikan Arti Kata “Ngayah” Bukan “Lelah Sing Mebayah” Masih Banyak Yang Keliru

 


Om Swastyastu semeton Pesona Taksu Bali, kali ini kita akan membahas tentang "Ngayah" Sebelum itu jangan lupa untuk mengunjungi Instagram kami juga ya @pesona_taksubali


Kebanyakan orang jika mendengar kata ngayah diidentikan dengan kata gotong royong. Namun ngayah tidaklah sesederhana itu tetapi lebih pada tindakan yang berkaitan dengan kegiatan sosial yang dilandasi oleh hubungan manusia dengan Tuhan-Nya.


Ngayah berasal dari kata ayah (Bahasa Bali) artinya pelayanan (Sewanam). Ngayah merupakan sebuah pelayanan tanpa mengharapkan hasil atau upah namun lebih menekankan pada sebuah pengabdian kepada Sang Pencipta yang didasari rasa tulus ikhlas.


Beberapa kata yang hampir sama mewakili kata ngayah seperti “ ayah, ayahan, pengayah, ngayahang” atau “ ngopin, ngoopin, atau nguopin”. semua kata tersebut memiliki arti yang hampir sama namun berbeda dalam konteks pengunaannya. Ngayah biasanya dikenal pada saat upacara-upacara besar yang diselenggarakan Desa Pakraman atau Krama Desa seperti Piodalan di Pura Kahyangan Tiga. Sedangkan ngopin lebih kepada kegiatan saling membantu sesama kerabat yang memiliki hajatan upacara atau sering disebut menyamabraya.


Di Bali, Kata Ngayah dalam sebuah kajian filosofis disebutkan secara harfiah berarti melakukan pekerjaan tanpa mendapat upah (kamus Bali-Indonesia,1990), yang dilihat dari segi etimologis diadopsi dari konteks politik dan kultur feudal dari zaman raja-raja Bali, yakni dari akar kata “Ayah” yang terpancar dari budaya PURUSAISME atau Patrilineal/Patrirhat, terutama berkaitan dengan sistem pewarisannya. Maka kemudian menjadi “ayahan” yang secara sangat spesifik ialah mengacu pada : Tanah ayahan desa (sebagai bagian integral tanah desa adat) dan konskuensinya.


Kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi/dijalani oleh orang bersangkutan (yang mendiami tanah ayahan). Sebagai salah satu wujud tanggung jawab. Dalam kaitannya dengan kewajiban-kewajibannya ini dapat dibedakan menjadi 3, yaitu :

1. Kewajiban religius-teritorial, terutama Pura Kahyangan Tiga atau pengayah di pura lainnya.

2. Kewajiban yang berkaitan dengan kegiatan sosiokultural banjar adat (pengayah banjar adat)

3. Kewajiban berupa dedikasi, loyalitas berkaitan dengan raja-raja yang memerintah pada masa itu (pengayah puri). Karena sebagian tanah-tanah ayahan itu diberikan oleh raja yang diperoleh (sebagai rampasan perang) atas penaklukan kerajaan / daerah lain.


Latar belakang sosiologis dan historis tersebut telah menunjukan bahwa semula budaya ngayah itu berakar dari kata ayah, ayahan, pengayah, ngayahang (yang saling kait mengkait dalam satu kesatuan konskuensi logis – eksistensialistis). 


Eksitensi tanah ayahan desa telah membawa konsekuensi logis bagai pengayah untuk melakukan kewajiban sosio-religiuskultural, yakni ngayahang. Konsekuensi eksistensislistis ini juga berimplikasi terhadap kenyataan lingual budaya ngayah itu sendiri. 


Jadi bagaimana semeton ? Bermanfaat tidak informasi dari blog kami ? Jika bermanfaat jangan lupa untuk meninggalkan komentarnya ya terima kasih.

Via : pesonataksubali.blogspot.com/tatkala.com/sejarahharirayahindu.blogspot.com

Foto By : Bobogrid.id

#pesona_taksubali

Comments

Popular posts from this blog

Makna Asu Bang Bungkem Dalam Sejarah Upacara Caru Hindu Di Bali

Kewajiban Orang Tua Pada Anaknya Menurut Kepercayaan Agama Hindu Di Bali

Makna Mimpi Atau Primbon (Baik Dan Buruk) Menurut Agama Hindu

Bagaimanakah Ciri - Ciri Sebenarnya Dari Zaman Kali Yuga Menurut Kitab Suci Hindu ?

Pantangan Dan Persembahan Yang Wajib Diketahui Dibalik Keramatnya Kajeng Kliwon

Proses Watangan Mapendem/Mengubur Mayat Yang Bangkit Kembali Dalam Calonarang

Apakah Lahir "Melik" Sebuah Anugrah Yang Beresiko Kematian ? Simak Selengkapnya

Urutan Persembahyangan Yang Benar Dalam Agama Hindu Beserta Doa/Mantranya

Beginilah Cara Mengintip Leak Yang Sedang Rapat/Meeting Di Malam Hari

Benarkah Menginjak Canang/Sesajen Di Bali Bisa Celaka atau Mendapat Kesialan ?