Kuatkan Imanmu Dan Yakinkan Dirimu Niscaya Kebahagiaan Akan Jadi Milikmu
Om Swastyastu semeton Pesona Taksu Bali, kali ini kita akan membahas tentang "Sradha" Sebelum itu jangan lupa untuk mengunjungi Instagram kami juga ya @pesona_taksubali
Agama Hindu dikenal dengan agama yang mengenal banyak dewa, namun yang paling dikenal adalah Trimurti. Trimurti adalah tiga Dewa yaitu Brahma, Wisnu , dan Siva. Dewa Brahma dikenal karena perannya sebagai pencipta alam semesta beserta isinya, Dewa Wisnu sebagai pemelihara seluruh alam semesta dan Dewa Siva berperan sebagai pelebur alam semesta. Ketiga perwujudan itu adalah manifestasi dari kebesaran Tuhan Yang Maha Esa. Dan menurut umat Hindu Tuhan itu tiada duanya, hanya saja disebut dengan banyak nama.
Terlepas dari hal tersebut ada banyak ajaran – ajaran dasar dalam Hindu, diantara yang paling dasar adalah ajaran Panca Sradha. Panca Sradha secara etimologi terdiri dari kata Panca dan Sradha, Panca adalah lima dan Sradha adalah keyakinan atau kepercayaan. Lima dasar kepercayaan itu adalah percaya adanya Brahman, Atma, Karma Phala, Punarbhawa, dan Moksa.
Brahman artinya umat Hindu percaya bahwa hanya ada satu Tuhan, sebagaimana telah tertuliskan dalam Chandogya Upanisad IV.2.1 yaitu “Ekam Eva Avityam Brahman” yang artinya “Tuhan itu hanya satu tidak ada yang kedua. Kemudian dalam Yajur Veda XVII.27 juga tertuliskan “Yo Devanam Namadha Eka Eva” yang artinya “Ia adalah satu dan Dia disebut dengan banyak nama”. Masih banyak lagi tulisan – tulisan dan doa – doa yang menyebutkan dengan jelas bahwa umat Hindu percaya akan adanya satu Tuhan.
Atman atau Atma merupakan jiwa atau roh yang terdapat dalam tubuh kasar semua makhluk hidup. Atman adalah percikan api kehidupan dari Tuhan Yang Maha Esa. Semua makhluk hidup sesungguhnya berasal dari percikan kehidupan itu yang berasal dari Sang Pencipta. Atman sesungguhnya bersifat kekal dan sama sehingga dalam proses kehidupan, dikenal dengan yang namanya Reinkarnasi. Di mana reinkarnasi sesungguhnya kehidupan kembali dengan Atman yang sama dengan kehidupan sebelumnya.
adau Sraddha tatah sadhu-
sango ‘tha bhajana-kriya
tato ‘nartha-nivrttih syat tato
nistha rucis tatah
(Bhakti Rasamrta Sindhu 1.4.15)
“Pertama-tama Sraddha terbentuk dalam kesadaran, dilanjutkan pada pergaulan dengan orang-orang suci. Pada tahap berikutnya, praktik-praktik spiritual dilakukan demi mengarahkan pada keadaan terbebaskan dari hal-hal yang tidak diinginkan, lalu mencapai kemantapan keyakinan yang sangat kokoh ajeg, dan pada akhirnya muncullah kerinduan spiritual pada Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang.”
Kata adau menunjuk pada hal yang pertama hadir dan eksis pada diri pencari spiritual, yaitu keyakinan mantap pada Tuhan yang dinamakan Sraddha. Bukan hanya hal spiritual, namun pada hal-hal material pun Sraddha merupakan hal yang teramat penting serta menempati kepentingan terdepan. Sraddha berasal dari akar kata Sanskerta Sraddha, berarti mencintai, mengasihi, memikirkan. Sraddha juga berasal dari akar kata dha, dengan prefix Srat dan suffix ang, berarti menahan, mendukung, mempertahankan, dan memiliki. Arti Sraddha secara menyeluruh dalam literatur Sanskerta adalah mencintai, melindungi, keyakinan, memegang, memelihara, menjaga.
Dari keseluruhan arti, Sraddha lebih memberikan penekanan pada arti keyakinan yang merupakan dasar dari setiap perbuatan. Keyakinan muncul dari pemahaman dan penyerahan diri pada Tuhan. Ia merupakan gabungan pengetahuan dan kepercayaan. Keyakinan mengarahkan orang pada kebahagiaan. Ia datang dari pengalaman spiritual ke dalam diri sehari-hari karena Sraddha berhubungan dengan kewajiban dan aktivitas sehari-hari.
Bila Sraddha sudah termantapkan dengan baik maka mulailah orang mendapatkan pergaulan dengan para sadhu atau orang- orang suci sampai akhirnya memiliki rasa kerinduan spiritual pada Tuhan Yang Maha Penyayang.
Cobaan, godaan dan “tawaran-tawaran” indah menarik akan datang sambung-menyambung untuk menggoyahkan serta mencoba menggagalkan Sraddha dalam pencarian jati diri. Semua cobaan dan godaan tersebut memaksa orang untuk reformatting Sraddha atau memformat ulang Sraddha-nya. Orang bijakberhati-hati mengarahkan dirinya pada “tawaran-tawaran” indah menarik karena sudah mengalami melalui anubhava bahwa madu itu rasanya manis. Walaupun jutaan orang mengatakan madu itu pahit atau kecut, namun mereka tetap tidak akan pernah mengubah Sraddha-nya. Para bijak memberikan perhatian pada hal ini dengan baik dan bersungguh-sungguh. Jika tidak, mereka akan kehilangan pahala dari semua praktiknya. Apa pun dilakukan orang namun tidak disertai Sraddha dengan baik, maka orang tidak akan mendapatkan buah dari praktiknya, ia hanya akan melakukan “kerja keras sia-sia”. Kekuatan Sraddha sangat luar biasa. Ia sangat membantu apa pun yang orang lakukan.
Hal-hal dunia arahnya keluar, sedangkan Sraddha arahnya ke V dalam dan mengalami ke dalam diri. Terkadang para praktisi terkecoh lalu mengarahkan perhatiannya keluar, demi dunia melihat dan setuju padanya. Maka terjadilah kesalahan fatal, melakukan sesuatu “karena orang lain dan untuk orang lain”, dan itu berarti mengabaikan Sraddha.
Para praktisi spiritual yang baik akan mengarahkan praktiknya ke dalam diri. Mereka tidak akan pernah bosan berusaha menyempurnakan praktiknya. Bagi pemeditasi, setiap bermeditasi akan selalu menanyakan pada dirinya, “Sudahkah aku duduk dalam sikap yang benar?”, “Sudahkah aku melakukan meditasiku mengarah pada arah yang benar?’, “Sudahkah ruangan meditasiku bebas dari gambar atau hiasan yang bukan-bukan?’ Ia juga akan memastikan tidak ada getaran-getaran lain selain getaran spiritual yang mengisi ruangan meditasinya. Seorang Sadhaka Meditasi yang baik akan memastikan semua itu setiap melakukan meditasinya.
Demikian pentingnya Sraddha, bahwa orang harus mengalami ke dalam diri terlebih dahulu. Kalau tidak, orang hanya akan ikut-ikutan saja, mengikuti atau mengajak orang mengikuti. Praktisi spiritual harus menempatkan kesadarannya menjadi orang yang Sraddhawan (yang mempunyai Sraddha). Orang yang mempunyai Sraddha akan mendapatkan pengetahuan suci (Sraddhavan labhyate jnanam). Memantapkan Sraddha memastikan orang memperoleh pengetahuan suci jnana. Hanya orang yang jiwa raga dan atma-nya oleh pengetahuan suci saja yang akan mendapatkan kebahagiaan sejati (param San- tim). Orang harus mengalami anubhava spiritual ke dalam diri. Bukan anak, suami, istri, dan juga bukan orang lain yang harus mengalami melainkan diri sendiri. Orang harus memastikan dirinya mempraktikkan dan bukan hanya hadir dalam pertemuan-pertemuan diskusi spiritual. Keseharian spiritual bukan hanya di ruang sembahyang, tetapi juga keluar ke jalan, ke pertemuan, atau di mana berada, orang harus tetap menjadi seorang Sraddhawan, yaitu orang yang tangannya menggenggam “berlian sejati” bernama Sraddha.
Jika tidak ada Sraddha, mengapa dan untuk apa orang datang jauh-jauh ke tempat-tempat spiritual? Orang yang tekun dan tulus berada di jalan spiritual pasti sudah mempunyai Sraddha yang sangat baik makanya ia tekun mempraktikkannya. Umat datang ke Besakih, Lempuyang, Batukaru dan lain-lain karena Sraddha-nya sudah ajeg. Orang membuat dan menghaturkan canang, banten dan lain-lain karena Sraddha-nya sudah muncul serta bersthana dalam kesadaran terdalam. Umat sudah mulai merasakan kenyamanan membaca Bhagavad-gita, sudah merasakan enaknya berjapa, karena itulah mereka melanjutkan praktik spiritualnya. Jika tidak ada Sraddha, untuk apa mereka dari jauh-jauh mengunjungi pertemuan, diskusi atau sadhana spiritual? Jika tidak ada suatu “rasa spiritual” dialami di dalam diri, maka mereka akan memilih lebih baik menonton bola atau sinetron di rumah. “Adau Sraddha”, keyakinan yang kuat, ajeg dan tidak tergoyahkan menempati kepentingan terdepan dalam setiap aktivitas atau praktik spiritual yang dilakukan. Kalau tidak, orang tidak akan menghargai pengetahuan suci jnana, sebaliknya hanya akan dipergunakan sebagai hiburan spiritual.
Sehubungan dengan Sraddha, orang hendaknya waspada agar keyakinan tidak menjadi luntur. Jika tidak bersungguh-sungguh mengadakan penyepurnaan kesadaran, maka Sraddha bahkan bukan hanya kurang melainkan bisa menjadi tidak ada sama sekali. Praktik-praktik yang di arah Brahman, Atman lebih banyak arahnya hanyalah formalitas belaka. Orang tidak akan mengerti mengapa mempraktikkan ini dan itu? Mengapa dan bagaimana upacara ini dan itu, orang sama sekali tidak akan mengetahuinya. Praktik ada, meriah dan bagus, tetapi Sraddha tidak ada, karena pengetahuan tentang hal itu tidak ada. Bahayanya, tanpa Sraddha apa pun dilakukan, hatinya tidak akan ada di sana, karena hanya formalitas. Ada “bahaya kecendrungan” seperti itu yang bisa terjadi di masyarakat. Paling tidak, sebagai umat penganut Sanatana Dharma, hal itu hendaknya jangan sampai terjadi pada diri sendiri. Orang harus mempunyai Sraddha, namun tidak akan menyentuh hidup orang lain, apakah mereka mempunyai Sraddha ataukah tidak, orang bijak tidak akan menyentuh hal itu.
Diri sendirilah yang harus mempunyai Sraddha, yaitu sebuah keyakinan seperti mencicipi madu, rasa manis drrasakan dan dialami langsung. Tidak akan ada yang mampu menyerongkan pengalaman rasa tersebut karena Sraddha sudah ada di sana, keyakinan yang ajeg pada yang benar dan hati ada di sana, itulah Sraddha.
Jadi bagaimana semeton ? Bermanfaat tidak informasi dari blog kami ? Jika bermanfaat jangan lupa untuk meninggalkan komentarnya ya terima kasih.
Via : pesonataksubali.blogspot.com/phdi.or.id/bckudus.beacukai.go.id
Foto By : Phdi.or.id
Comments
Post a Comment