Kisah Adanya Sapuh Leger Yang Berkaitan Dengan Tumpek Wayang
Om Swastyastu semeton Pesona Taksu Bali, kali ini kita akan membahas tentang "Sapuh Leger" Sebelum itu jangan lupa untuk mengunjungi Instagram kami juga ya @pesona_taksubali
Kata Sepuh Leger berasal dari kata Sepuh dan Leger yang artinya pembersihan dari kekotoran bathin yang dalam masyarakat Bali, dimana lakon ini ditampilkan melalui pertunjukkan wayang, yang secara keseluruhan “Wayang Sapuh Leger sebagai drama ritual yang disakralkan". Dengan sarana pertunjukkan wayang kulit yang bertujuan untuk pembersihan atau penyucian diri seorang akibat tercemar atau kotor secara rohani sebagaimana disebutkan dalam kutipan Makna dan Tata Cara Teknis Upacara Pabayuhan Weton Sapuh Leger, sumber : MGPSSR Pusat by HINDU BALI (ref).
Drama Ritual Sapuh Leger ini dalam masyarakat Hindu mengisahkan dewa kala dalam kelahiran pada tumpek wayang, .
Secara mitologis dan sastra Bhatara Kumara lahir pada Wuku Wayang yang juga kelahiran kakaknya Bhatara Kala.
“Sehingga karena lahir pada wuku yang sama itulah, maka Rare Kumara dianggap mamada-mada sehingga Bhatara Kala memiliki hak memakan adiknya,” kata I Putu Eka Guna Yasa, penekun lontar di UPT Lontar Unud. Ketika Kala meminta ijin, Bhatara Siwa tidak mengijinkan memakan adiknya dengan alasan masih kecil, dan Siwa baru mengijinkan jika Bhatara Kumara sudah besar.
“Karena sayang pada Bhatara Rare Kumara, seketika itu Bhatara Siwa menemuinya dan diberikan anugrah yaitu akan tetap kecil, sehingga tidak dimakan oleh kakaknya,” imbuh Guna.
Dalam buku Wayang Sapuh Leger karya I Dewa Ketut Wicaksana diuraikan mengenai kisah Bhatara Kumara ini pada halaman 65. Adapun sumber yang dirujuk buku ini yaitu Lontar Kidung Sapuh Leger, No. Va. 645, koleksi Gedong Kirtya, Singaraja.
Diceritakan bahwa Bhatara Siwa atau Bhatara Guru memiliki dua orang putra yaitu Bhatara Kala dan Sang Hyang Rare Kumara yang lahir pada minggu yang sama yaitu wuku wayang. Kala marah karena adiknya memiliki otonan yang sama dan meminta ijin kepada ayahnya untuk memakannya.
“Guru memberitahu Kala untuk menunggu selama tujuh tahun, karena adiknya masih bayi. Dengan perasaan sedih Siwa memanggil Kumara dan memberitahu dia tentang maksud Kala, karena tidak bisa dicegah. Kemudian Guru mengutuk (pastu) Kumara untuk tetap kecil (kerdil) tidak pernah dewasa,” tulis Wicaksana dalam bukunya itu.
Tujuh tahun kemudian, Setelah dirasanya adiknya sudah dewasa, Kala menemui Rare Kumara dan bermaksud memangsanya. Namun atas perintah Dewa Siwa, Rare Kumara diminta untuk berlari menuju ke Kerajaan Kertanegara. Mengetahui adiknya lari, Kala mengejarnya. Ia mencium tapak kaki Rare Kumara dan mengikutinya dan dilihatlah sang adik berlari. Setelah bersembunyi di beberapa tempat yaitu rimbun bambu buluh, di balik kayu bakar, dan tungku perapian, Rare Kumara pun sampai di Kertanegara.
Kertanegara digempur oleh Bhatara Kala, dan Rare Kumara berlari hingga saat malam ia sampai di tempat pertunjukan wayang. Oleh dalang wayang, Rare Kumara diminta bersembunyi di resonator gamelan gender.
Saking laparnya, Kala datang ke tempat pertunjukan wayang dan memakan sesajinya. Melihat hal itu, dalang menegur Kala agar mengembalikan sesaji yang telah dimakannya. Karena terpojok, Kala pun berhutang pada dalang dan kepada dalang itu, ia berikan mantra magis. Mantra itu membuat dalang bisa membebaskan semua makhluk hidup dari kekotoran.
Dalang kemudian menghaturkan sesaji sebagai pengganti anak yang dilahirkan Tumpek Wayang, sehingga selamatlah Rare Kumara. Rare Kumara pun dibawa kembali ke kahyangan oleh Dewa Siwa. Begitulah kisah ringkas yang melatarbelakangi dilaksanakannya Sapuh Leger pada anak yang lahir wuku Wayang. Kisah ini diambil dari Lontar Kidung Sapuh Leger.
I Dewa Ketut Wicaksana dalam Wayang Sapuh Leger menyebut istilah sapuh leger berasal dari kata sapuh dan leger. Sapuh berarti alat untuk membersihkan, sementara leger artinya tercemar atau kotor. “Secara harfiah sapuh leger artinya pembersihan atau penyucian dari keadaan yang tercemar atau kotor,”
Sedangkan wayang yang dipentaskan dalam sapuh leger ini disebut wayang sapuh leger. Sehingga wayang sapuh leger menurut Wicaksana merupakan sebuah drama ritual dengan sarana pertunjukan wayang kulit yang bertujuan untuk membersihkan atau menyucikan diri seseorang akibat tercemar atau kotor secara rohani.
Di Bali hingga kini diyakini bahwa anak yang lahir pada wuku Wayang patutlah melakukan upacara lukatan atau pembersihan yang disebut sapuh leger. Hal ini dimaksudkan agar terhindar dari kejaran Kala dan tak ditimpa malapetaka.
Menurut Wicaksana, wuku Wayang dimaknai sebagai waktu menjelang peralihan atau transisi sehingga dianggap rawan dan berbahaya. Secara mistis pada saat ini dipersonifikasikan sebagai seorang raksasa tinggi, besar, menyeramkan bernama Bhatara Kala.
Jadi bagaimana semeton ? Bermanfaat tidak informasi dari blog kami ? Jika bermanfaat jangan lupa untuk meninggalkan komentarnya ya terima kasih.
Via : pesonataksubali.blogspot.com/tribunbalinews.com/telusurbali.com/sejarahharirayahindu.blogspot.com
Foto By : Rangkuman Google


Comments
Post a Comment