Taukah Semeton Makna Lungsuran, Surudan, Paridan Yang Sebenarnya ? Ini Penjelasannya
Om Swastyastu semeton Pesona Taksu Bali, kali ini kita akan membahas tentang "Makna Lungsuran" Sebelum itu jangan lupa untuk mengunjungi Instagram kami juga ya @pesona_taksubali.
Lungsuran ("surudan" "prasadham") adalah makanan seperti sanganan sehabis dipersembahkan kepada Tuhan yang didasari atas hati yang tulus dan ikhlas sebagaimana disebutkan kutipan yadnya dalam jagat payogan, makan dari hasil persembahan yang dimakan tersebut adalah anugerah dari Tuhan,
Dalam kehidupan ini manusia harus senantiasa menikmati makanan hasil persembahannya kepada Tuhan.
Bilamana manusia memakan yang bukan hasil persembahan pada Tuhan berarti dia memakan dosa.
Agar terhindar dari dosa itu, manusia sebelum makan haruslah mempersembahkannya terlebih dahulu pada Tuhan.
Setelah ditelisik, ternyata istilah lungsuran/surudan menunjukkan strata atau kelas suatu hidangan/makanan yang bermula dari haturan persembahan (bebanten), lengkap dengan makanan (nasi/ketupat, ikan/daging, buah, dan jajanan). Usai dipersembahkan, isi bebanten itu berubah menjadi lungsuran/surudan, yang siap dinikmati sebagai wujud anugrah Hyang Widhi atau Ida Bhatara-Bhatari. Soal mau tidaknya seorang umat menerima dan menikmatinya sangat tergantung pada suatu hal, yang biasanya dikaitkan dengan kepada siapa haturan bebanten itu dipersembahkan, di Pura dengan status apa dan siapa yang menghaturkannya.
Jika bebanten dihaturkan kehadapan Hyang Widhi di ajeng palinggih Padmasana, atau setidaknya di Pura dengan status Kahyangan Jagat, hingga Kahyangan Tiga, sepertinya umat dari kalangan manapun akan bisa menerima dan menikmatinya. Namun tak dapat dimungkiri, adakalanya dikait-kaitkan lagi dengan siapa yang menghaturkannya. Bila haturan bebantennya berasal dari kelompok yang dianggap tidak sewangsa/sesoroh, apalagi tidak menyama, seringkali ditolak, dan tak akan mau dinikmati lungsuran/surudannya.
Sejatinya apa yang disebut lungsuran/surudan atau prasadham adalah utama karena berasal dari suatu persembahan suci, sebagaimana kitab suci Bhagawadgita, IV.31 menyatakan: Yajna sistamrtta bhujo, yanti Brahma sanatanam, na’yam loko ‘sty ayajnasya, kuto ‘nyah kurusattama (Mereka yang makan makanan suci setelah melalui suatu persembahan atau pengorbanan akan mencapai Brahman Yang Abadi (Tuhan). Dunia ini bukan untuk orang yang tak mau mempersempahkan suatu pengorbanan atau yadnya, apalagi untuk dunia lainnya, wahai Kurusattama (Arjuna)”.
Jadi, sebenarnya tidak ada alasan untuk berpikir, apakah hendak menerima atau berhasrat menolak nikmat berkah anugrah lungsuran/surudan, sebab sebelumnya telah dipersembahkan sebagai sajian suci bagi Hyang Widhi beserta manifestasinya, termasuk Ida Bhatara-Bhatari, kecuali mungkin yang dilekatkan label kawitan/leluhur yang memang tak pernah lepas dari embel-embel wangsa/soroh. Untuk yang disebut terakhir ini, bagi masyarakat Bali (Hindu) tradisional-konservatif memang masih diikuti/dilakoni dengan fanatik.
Jadi bagaimana semeton ? Bermanfaat tidak informasi dari blog kami ? Jika bermanfaat jangan lupa untuk meninggalkan komentarnya ya terima kasih.
Via : pesonataksubali.blogspot.com/phdi.or.id/sejarahharirayahindu.blogspot.com
Foto By : Rangkuman Google

Comments
Post a Comment