Penerapan Konsep Tri Hita Karana Pada Sistem Subak Bali Yang Mendunia

 


Om Swastyastu semeton Pesona Taksu Bali, kali ini kita akan membahas tentang "Subak Bali" Sebelum itu jangan lupa untuk mengunjungi Instagram kami juga ya @pesona_taksubali.

Subak adalah organisasi kemasyarakatan yang khusus mengatur sistem pengairan sawah (irigasi) yang digunakan dalam bercocok tanam padi di Bali, Indonesia. Subak pada umumnya memiliki pura yang dinamakan Pura Uluncarik atau Pura Bedugul, yang khusus dibangun oleh para pemilik lahan dan petani. Pura tersebut diperuntukkan bagi Dewi Sri, yaitu dewi kemakmuran dan kesuburan menurut kepercayaan masyarakat Bali. Sistem irigasi ini diatur oleh seorang pemuka adat (Pekaseh) yang juga adalah seorang petani di Bali.

Sistem subak menjadi salah satu kekhasan Provinsi Bali. Sistem pengairan ini menjadi sebentuk kearifan lokal yang membuat masyarakat petani dapat hidup serasi dengan alam untuk memperoleh hasil panen optimal. Dalam organisasi subak, dikenal adanya beberapa perangkat. Perangkat-perangkat yang ada dalam subak adalah pekaseh (ketua subak), petajuh (wakil pekaseh), penyarikan (juru tulis), petengen (juru raksa), kasinoman (kurir), dan beberapa lainnya. Selain itu, dikenal adanya sub kelompok yang terdiri dari 20-40 petani yang disebut munduk dan diketuai seorang pengliman.

Selain sistem strukturalnya, subak memiliki kekhasan dalam hal ritual upacara keagamaan. Dalam subak, dikenal adanya ritual perseorangan dan berkelompok (tingkat munduk/tempek). Ritual perseorangan antara lain ngendangin (kali pertama mencangkul), ngawiwit (saat petani menabur benih), mamula (ketika menanam), neduh (selagi padi berumur 1 bulan agar tidak diserang penyakit), binkunkung (kala padi mulai berisi), nyangket (pas panen), dan manteni (selama padi disimpan di lumbung).




Dalam ritual berkelompok, dikenal ritual berkelompok seperti mapag toya (upacara jelang pengolahan tanah), mecaru (upacara agar terhindar hama), dan ngusaba (upacara menjelang panen).

Dalam organisasi Subak, masyarakat meyakini bahwa karunia Tuhan yang diberikan patut selalu disyukuri. Ekosistem alam yang dimiliki Bali merupakan manifestasi dari sebuah filosofi yang kental melekat dalam dari masyarakat Dewata. Adalah Tri Hita Karana.

Tri Hita Karana berasal dari tiga kata, Tri yang artinya tiga, Hita adalah kebahagiaan atau kesejahteraan, dan Karana artinya penyebab. Maka, Tri Hita Karana adalah tiga penyebab terciptanya kebahagiaan dan kesejahteraan. Itulah manifestasi dari filosofi Tri Hita Karana yang diyakini masyarakat Bali hingga saat ini. Tri Hita Karana sendiri memiliki nilai sejarah yang bermakna, sehingga penerapannya di Subak menggambarkan kebahagiaan dan kesejahteraan.

Adapaun bentuk penerapan dari Tri Hita Karana sendiri dibagi menjadi tiga unsur penting sebagai wujud ritual atau hubungan antara manusia, Tuhan dan alam. Hal tersebut tercermin melalui makna dari Parahyangan yang menjelaskan hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan, Pawongan yaitu hubungan harmonis antar sesame manusia, serta Palemahan yang menunjukan hubungan harmonis antara manusia, alam dan lingkungan sekitarnya.

Kombinasi antara iklim tropis, hujan dan tanah vulkanis yang subur menjadikan pulau Bali sebagai tempat yang ideal untuk budidaya tanaman; termasuk tumbuhan padi, kelapa, cengkih dan kopi. Kegiatan pertanian ini mempunyai pengaruh yang besar pada lanskap Bali, terutama dalam penciptaan sawah berundak-undak. Selama seribu tahun terakhir, masyarakat Bali melakukan modifikasi demi menyesuaikan lahan pertanian dengan kondisi pulau mereka, dengan cara membuat terasering di lereng bukit dan menggali kanal untuk mengairi lahan, sehingga memungkinkan mereka untuk menanam padi.

Beberapa arkeolog meyakini masyarakat Bali mengenal pertanian sejak awal abad masehi. Keyakinan itu berdasarkan temuan alat-alat pertanian kuno di Sembiran, salah satu desa tertua di Bali, yang digunakan untuk menanam padi. Tapi para arkeolog belum mampu menjabarkan cara bertani dan pengelolaan irigasi masyarakat kala itu.

Keterangan lebih jelas mengenai pengelolaan sawah dan irigasi termuat dalam Prasasti Trunyan (891). Dalam prasasti itu tersua kata “serdanu” yang berarti kepala urusan air danau. Ini berarti masyarakat Bali sudah mengenal cara mengelola sawah dan irigasinya pada akhir abad ke-9.

Jadi bagaimana semeton ? Bermanfaat tidak informasi dari blog kami ? Jika bermanfaat jangan lupa untuk meninggalkan komentarnya ya terima kasih.

Via : pesonataksubali.blogspot.com/wikipedia.org/indonesiakaya.com/indonesia.go.id
Foto By : Greeners.co

Comments

Popular posts from this blog

Makna Asu Bang Bungkem Dalam Sejarah Upacara Caru Hindu Di Bali

Kewajiban Orang Tua Pada Anaknya Menurut Kepercayaan Agama Hindu Di Bali

Makna Mimpi Atau Primbon (Baik Dan Buruk) Menurut Agama Hindu

Bagaimanakah Ciri - Ciri Sebenarnya Dari Zaman Kali Yuga Menurut Kitab Suci Hindu ?

Pantangan Dan Persembahan Yang Wajib Diketahui Dibalik Keramatnya Kajeng Kliwon

Proses Watangan Mapendem/Mengubur Mayat Yang Bangkit Kembali Dalam Calonarang

Apakah Lahir "Melik" Sebuah Anugrah Yang Beresiko Kematian ? Simak Selengkapnya

Beginilah Cara Mengintip Leak Yang Sedang Rapat/Meeting Di Malam Hari

Urutan Persembahyangan Yang Benar Dalam Agama Hindu Beserta Doa/Mantranya

Benarkah Menginjak Canang/Sesajen Di Bali Bisa Celaka atau Mendapat Kesialan ?