Inilah Fungsi Dan Makna Dari Arak Berem Dalam Setiap Persembahyangan Orang Bali
Bagi umat Hindu Bali yang belum memiliki kewenangan "Nganteb" banten dengan "Pengastawa" sebagaimana layaknya seorang pemangku, bukan berarti tidak ada cara nganteb yang diperbolehkan. Bagi orang awam atau bahkan bagi orang yang tidak mengenal tulisan tentu saja agak kesulitan untuk ngastawa mempergunakan puja mantra, tetapi bisa dilakukan dengan nyanyian pemujaan seperti kidung wargasari dan lain-lain. Ada juga menggunakan simbol-simbol seperti melakukan "tetabuhan arak-berem".
Kenapa menggunakan Arak dan Berem? Kenapa tidak memakai yang lain? Kadang-kadang memakai simbol ini pun warga Hindu Bali banyak yang belum memahaminya, hanya ikut-ikutan saja. Berikut ini adalah sedikit penjelasan tentang maksud dan makna arak berem sebagai sarana pengastawa ke hadapan Sang Hyang Widhi.
Tetabuhan (petabuhan) Arak Berem | disebutkan makna simbol dari Arak/Tuak Berem dalam persembahyangan, upacara yadnya dan tetandingan banten umat Hindu Bali sebagai sarana pengastawa dengan simbol Ang Ah kehadapan Sang Hyang Widhi.
Arak/Tuak merupakan simbol dari aksara suci "Ah-kara", sedangkan
Berem adalah simbol dari aksara suci "Ang-kara".
Hal ini terkait mantra pengastawa sehubungan dengan Tri Kona dengan menggunakan dasar dari sastra Rwa Bhineda sebagai berikut :
1. Utpeti (Pengastawa/Ngajum/Puja); memohon kehadapan Sang Hyang Widhi agar Beliau berkenan kontak dengan manusia melalui manifestasiNya sesuai dengan fungsi Nya, untuk menyaksikan persembahan dari pemujaNya berdasarkan keyakinan dan kekuatan magis dari upacara Bija Mantra seperti "Ang... Ah". Dalam hal ngastawa mempergunakan sarana (simbol) maka kalau metabuh dalam tujuan ngastawa harus mengikuti urutan Berem (Ang) dahulu, kemudian dilanjutkan dengan Arak (Ah).
2. Stiti (Ngadegang); menstanakan Beliau, dalam imajinasi seolah-olah Beliau telah duduk pada stana Nya, telah siap menerima dan menyaksikan persembahan pemuja Nya. Maka pada saat inilah kita melakukan persembahyangan kepada Sang Hyang Widhi Wasa beserta seluruh manifestasi Nya.
3. Pralina (Ngamantukang); menghaturkan persembahan untuk memohon agar Beliau berkenan kembali ke Kahyangan (kembali pada keheningan Nya), karena acara persembahyangan pemuja Nya telah selesai. Dalam hal ini mempergunakan sarana maka kalau metabuh dalam tujuan pralina harus mengikuti urutan Arak (Ah) dahulu, kemudian dilanjutkan dengan Berem (Ang). Begitu juga dalam menghaturkan "Segehan", letakkan segehan di posisi yang seharusnya, kemudian ngastawa (Berem-Arak), lalu "ketis" tirtha ening, kemudian "ayab" dan terakhir pralina (Arak-Berem). Sehingga dalam mesegehan pun telah terlaksana Utpeti-Stiti-Pralina.
Jangan lupa dalam mesegehan sesuaikan warna nasi kepelnya dengan arah mata angin (Putih-Timur, Merah-Selatan, Kuning-Barat, Hitam-Utara dan Brumbun (campuran keempat warna)-Tengah).
Begitu juga dalam hal menghaturkan "Canang Sari" agar diperhatikan warna bunga agar sesuai dengan arah mata angin seperti pada segehan di atas, hanya bedanya yang di tengah adalah irisan dari pandan harum. Dumogi wenten pikenoh nyane, suksma
Jadi bagaimana semeton ? Bermanfaat tidak informasi dari blog kami ? Jika bermanfaat jangan lupa untuk meninggalkan komentarnya ya terima kasih.
Via : pesonataksubali.blogspot.com/sejarahharirayahindu.blogspot.com/suryakemenuh.blogspot.com/
Foto by : Rangkuman Google
Comments
Post a Comment