Berpacaran Dalam Perspektif Hindu Dilarang Atau Diperbolehkan ? Simak Jawabannya

 


Om Swastyastu semeton Pesona Taksu Bali, kali ini kita akan membahas tentang "Pacaran Dalam Perspektif Hindu" Sebelum itu jangan lupa untuk mengunjungi Instagram kami juga ya @pesona_taksubali.


Salah satu perdebatan yang selalu hangat dibicarakan dalam sudut pandang antar agama adalah masalah berpacaran. Berpacaran merupakan ajang untuk saling mengenal pasangan sebelum memasuki jenjang pernikahan. Sebenarnya tidak ada satu agama pun yang secara khusus mengatur tentang tata cara berpacaran. Namun, masing-masing agama mempunyai cara pandang yang berbeda terhadap fenomena berpacaran. Ada yang memperbolehkan, bahkan menganjurkan agar kedua insan berlainan jenis berpacaran agar bisa saling mengenal dan memahami satu sama lain. Ada pula yang secara tegas melarang berpacaran karena dikhawatirkan akan menjurus pada terjadinya zina. 


Bagaimana dengan Hindu ? Seperti halnya agama-agama lain, tidak ada ayat-ayat yang secara khusus mengatur mengenai berpacaran. Tetapi ajaran Hindu mengenal konsep Catur Asrama, empat jenjang atau tahap kehidupan manusia, yakni: Brahmacari, Grihasta, Wanaprastha, dan Sanyasin/ Biksuka. : Brahmacari adalah tahap seseorang menuntut ilmu pengetahuan untuk bekal ketika memasuki tahap-tahap kehidupan berikutnya. 


Grihasta adalah tahap menikah dan berumah tangga, serta melahirkan keturunan yang suputra. Wanaprastha adalah jenjang kehidupan untuk mencari ketenangan batin, dan mulai melepaskan diri dari keterikatan terhadap kemewahan duniawi. Biksuka atau Sanyasin ialah tingkat kehidupan yang lepas dari ikatan keduniawian dan hanya mengabdikan diri kepada Sang Hyang Widhi Wasa dengan jalan menyebarkan ajaran-ajaran dharma. Sebagaimana disebutkan di atas, Brahmacari adalah tahap seseorang belajar terhadap berbagai ilmu pengetahuan. 


Tahap ini dimulai sejak seseorang dilahirkan, masa anak-anak, masa remaja, hingga menjadi dewasa muda. Dalam tahap Brahmacari ini, seseorang tidak hanya belajar pengetahuan yang bersifat akademis, tetapi juga sosial kemasyarakatan, sehingga kelak dapat hidup bermasyarakat dengan baik. Dalam tahap Brahmacari, ada salah satu aspek belajar sosial kemasyarakatan yang sering kurang diperhatikan dalam tinjauan agama, yakni jatuh cinta dan berpacaran, karena pada tahap ini seseorang berada dalam usia remaja dan dewasa muda. Jatuh cinta adalah fenomena alamiah yang terjadi pada usia remaja dan dewasa muda, yang bisanya diikuti dengan berpacaran.


Apakah Hindu merestui kaum muda yang masih dalam tahap Brahmacari ini untuk berpacaran ? Di dalam Reg Veda X.27.12, dinyatakan sebagai berikut: 


“Kiyati yosa maryanto vadhuyoh, Pariprita panyasa varyena, Bhadra vadhur bhaviati yat supesah, Svayam sa mitram vanute jane cit” 


Artinya: Terdapat banyak yang tertarik oleh kebaikan yang unggul (pria) dari beberapa orang yang hendak mengawini mereka. Seorang gadis menjadi kekasih yang beruntung yang memilih seorang teman (pria) bagi dirinya di antara para peminang”. 


Sloka dalam Reg Weda tersebut dapat dimaknai bahwa seorang gadis atau pemuda dapat memilih seorang lawan jenisnya untuk menjadi kekasihnya. “Kebaikan-kebaikan yang unggul” (atau lebih tepatnya kecocokan-kecocokan) di antara keduanya menjadi dasar pertimbangan untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan. Dari pernyataan yang diungkapkan Reg Weda tersebut bisa kita maknai bahwa berpacaran diperbolehkan dalam Hindu karena merupakan proses kehidupan yang harus dilewati oleh manusia untuk menemukan pendamping yang tepat ketika menapaki jenjang kehidupan Grihasta. Dengan demikian, masa berpacaran merupakan masa yang akan dialami ketika masa transisi dari masa Brahmacari menuju masa Grihasta. 


Namun, di sisi lain, berpacaran juga dapat mendorong terjadinya perbuatan zina, apabila yang bersangkutan tidak mampu mengendalikan nafsu birahinya. Untuk itu di dalam ajaran Hindu terdapat sloka-sloka yang menuntun untuk menahan kama (nafsu), sebagai berikut. 


Manavadharmasastra. VI11.357:

"Upacarakriya kelih, sparco bhusana vasasan, saha khatvasanam caiva sarvam samgrahanam smriamz". 


Artinya: 

"Memberikan sesuatu yang merangsang wanita (yang bukan istrinya), bercanda cabul dengannya, memegang busana dan hiasannya, serta duduk di tempat tidur dengannya adalah perbuatan yang harus dianggap sama dengan berzina. | 


Manavadharmasastra. VII1.358: 

"Striyam sprceda dece yah sprsto va marsayettaya parasparasyanumate sarvam samgrahanam smrtam".


Artinya: 

"Bila seseorang menyentuh wanita (yang bukan istrinya) pada bagian yang terlarang, atau membiarkan menyentuh bagian itu, walaupun semua perbuatan itu dilakukan dengan persetujuan bersama, haruslah dianggap berzina". 


Dengan demikian, berpacaran dalam perspektif Hindu tidak dilarang. Tetapi, yang diharapkan adalah berpacaran yang dilandasi dengan etika dan moral untuk mengendalikan diri. Pacaran tidak boleh diikuti dengan hubungan sex. Pacaran akan indah apabila dijalani dengan cinta, kasih sayang, saling menerima dan memberi, dan siap untuk memikul tanggung jawab. Inilah yang disebut dengan berpacaran yang sehat.


Lalu, apa yang perlu diperhatikan saat pacaran ? Nah, ini yang penting. Sebagai agama spiritual, ajaran Hindu hampir tidak pernah melarang secara dogmatis. Yang diajarkan justru etika2 dan pengertian2. Bukan paksaan tapi pencerahan. Dalam hal pacaran, yang ditekankan adalah niatnya dan prosesnya. Niatnya harus baik, untuk saling mengenal dan menumbuhkan cinta. Prosesnya harus baik, dijaga dari jebakan gelora nafsu (kama). Nafsu (kama) adalah ibarat kuda2 yang menarik kereta (badan) agar bergerak mencapai tujuan. Tak cukup kuda-kuda dan kereta, dibutuhkan sais (kusir) yang bijak dan berpengetahuan seperti Vasudewa Krisna agar dapat memenangkan pertempuran di Medan Kurusetra kehidupan. Kusir inilah kuncinya.


Pacaran adalah proses yang baik dan indah. Jauh hari sebelum mereka menikah, Arjuna telah menempuh perjalanan berdua dari Hastina ke Dwaraka bersama Subadra atas perintah Vasudewa Krisna. Bila sang pemilik kehidupan mengijinkan, maka tidaklah perlu kita terlalu fanatik melarangnya. Tapi yang penting, ingat jaga niatnya, dan jaga batasannya. Dalam hidup, bahkan mawar yang indah selalu ada durinya. Nikmati keindahannya, waspadai durinya. Itulah cara menikmati hidup, agar hidupmu tak hanya benar dan baik (satyam dan sivam), tapi juga indah (sundaram). Kehidupan yang indah, yang penuh cinta, yang bahagia, adalah salah satu tujuan beragama, disebut Jagadhita. Dan bila dicapai berdasarkan prinsip – prinsip dharma, maka itu adalah tangga terbaik menuju pembebasan (moksha).


Jadi bagaimana semeton ? Bermanfaat tidak informasi dari blog kami ? Jika bermanfaat jangan lupa untuk meninggalkan komentarnya ya terima kasih.

Via : pesonataksubali.blogspot.com/hindualukta.blogspot.com/paduarsana.com

Foto by : Rangkuman Google

#pesona_taksubali

Comments

Popular posts from this blog

Makna Asu Bang Bungkem Dalam Sejarah Upacara Caru Hindu Di Bali

Kewajiban Orang Tua Pada Anaknya Menurut Kepercayaan Agama Hindu Di Bali

Makna Mimpi Atau Primbon (Baik Dan Buruk) Menurut Agama Hindu

Pantangan Dan Persembahan Yang Wajib Diketahui Dibalik Keramatnya Kajeng Kliwon

Proses Watangan Mapendem/Mengubur Mayat Yang Bangkit Kembali Dalam Calonarang

Bagaimanakah Ciri - Ciri Sebenarnya Dari Zaman Kali Yuga Menurut Kitab Suci Hindu ?

Beginilah Cara Mengintip Leak Yang Sedang Rapat/Meeting Di Malam Hari

Benarkah Menginjak Canang/Sesajen Di Bali Bisa Celaka atau Mendapat Kesialan ?

Apakah Lahir "Melik" Sebuah Anugrah Yang Beresiko Kematian ? Simak Selengkapnya

Urutan Persembahyangan Yang Benar Dalam Agama Hindu Beserta Doa/Mantranya