Benarkah "Menyama Braya" Harus Berdasarkan Materi Atau Hanya Sekedar Basa Basi ?

 


Om Swastyastu semeton Pesona Taksu Bali, kali ini kita akan membahas tentang "Menyama Braya" Sebelum itu jangan lupa untuk mengunjungi Instagram kami juga ya @pesona_taksubali

Menyama Braya adalah konsep ideal hidup bermasyarakat di Bali sebagai filosofi dari karma marga yang bersumber dari sistem nilai budaya dan adat istiadat masyarakat Bali untuk dapat hidup rukun.

Kerukunan mengandung makna akrab, damai dan tidak berseteru, diibaratkan pada kehidupan sepasang suami istri dalam rumah tangga yang harmonis dan damai sebagaimana disebutkan oleh Drs. Ida Bagus Gede Wiyana, Ketua FKAUB Bali dalam menghormati kearifan lokal sebagai landasan strategis mewujudkan makna menyama braya sebagai penguatan jati diri bangsa.

Budaya menyama braya dalam masyarakat Bali tidak pernah lekang dimakan waktu dan tidak pernah usang dimakan zaman. Akan tetapi, perubahan zaman yang semakin modern menyebabkan budaya menyama braya mulai sedikit ditinggalkan oleh masyarakat Bali. Perubahan itu tidak terlepas dari beberapa faktor yang terjadi pada masyarakat Bali secara pribadi maupun kolektif. Faktor yang mempengaruhi berasal dari faktor internal maupun faktor eksternal

Salah satu contoh faktor internal yang mempengaruhi mulai lunturnya budaya menyama braya adalah perubahan mata pencaharian penduduk di Bali dari agraris berubah menjadi jasa dibidang pariwisata. Budaya agraris yang semula menjadi landasan kehidupan masyarakat Bali dengan ritme kerja yang teratur, tenang, ramah, dan santun, sekarang mulai sedikit berubah menjadi gaya hidup yang konsumtif dan mengarahpada pandagan rasionalitas ekonomi yang sering membuat orang menjadi lebih individualisme.

Faktor eksternal yang menyebabkan sedikit ditinggalkannya budaya menyama braya adalah tuntutan pekerjaan yang semula mayoritas masyrakat bekerja sebagai petani atau berwirausaha didaerah masing-masing menjadi pekerja yang bergerak disektor pariwisata yang menuntut masyarakat untuk meninggalkan daerahnya menuju daerah yang berkembang pada sector pariwisatanya. Kepindahan ini menyebabkan banyak budaya Bali yang semula dapat dengan mudah diikuti oleh masyarakat menjadi sebuah beban bagi masyarakat yang tidak tinggal di daerah aslinya. Hal ini menjadi salah satu faktor mengapa kaum milenial banyak yang merasa budaya menyama braya menjadi sebuah beban dan hambatan dalam mengembangkan karirnya.

Manusia pada hakikatnya tergantung dalam segala aspek kehidupannya kepada sesama umat manusia

karena itu ia selalu berusaha untuk sedapat mungkin memelihara hubungan baik,

terdorong oleh jiwa sarna rata sarna rasa; dan

selalu berusaha untuk sedapat mungkin bersifat konform, bekerjasama dalam komunity

Masyarakat Bali dalam menghayati budaya menyama braya mengibaratkan bahwa kehidupan sosial yang plural dalam relasinya itu ibarat sebuah pohon. Akar pohon diibaratkan sebagai Tat Twam Asi (Aku adalah kamu : manusia pada hakikatnya adalah satu), batangnya adalah fasudewam khutumbhakam (kita semua adalah keluarga), menyama braya adalah cabangnya, sedangkan daun, bunga, dan buah adalah kerukunan. Sebagai manusia pada hakikatnya kita tergantung pada segala aspek kehidupan, baik hubungan kita dengan Tuhan, dengan sesama manusia, serta hubungan dengan makhluk hidup lainnya. Khusus untuk hubunga dengan sesama manusia hendaknya kita memegang kunci untuk hidup berdampingan secara damai dan saling toleransi.

Budaya menyama braya sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat Bali sejak jaman dulu. Penerapan budaya ini tidak hanya terbatas pada sesama umat Hindu saja tetapi juga berlaku untuk semua umat non Hindu. Budaya menyama braya menjadi salah satu kunci keberhasilan toleransi dalam beragama di Bali.

Bagi generasi milenial, perubahan gaya hidup ikut andil dalam berkurangnya pelaksanaan budaya menyama braya. Kaum milenial cenderung lebih memilih bersosial secara online dengan pertimbangan lebih hemat waktu, tenaga, dan lebih efisien. Kesibukan yang semakin menumpuk membuat budaya menyama braya dirasa menjadi beban bagi kaum milenial. Tetapi, pada dasarnya budaya menyama braya tidak dapat digantikan dengan kecanggihan teknologi. Banyak kegiatan bermasyarakat yang hanya bisa dilakukan dengan interaksi secara langsung.

Jadi bagaimana semeton ? Bermanfaat tidak informasi dari blog kami ? Jika bermanfaat jangan lupa untuk meninggalkan komentarnya ya terima kasih.

Via : Pesonataksubali.blogspot.com/kompasiana.com/sejarahharirayahindu.com

Foto by : kulkulbali.co

#Pesona_taksubali

Comments

Popular posts from this blog

Makna Asu Bang Bungkem Dalam Sejarah Upacara Caru Hindu Di Bali

Kewajiban Orang Tua Pada Anaknya Menurut Kepercayaan Agama Hindu Di Bali

Makna Mimpi Atau Primbon (Baik Dan Buruk) Menurut Agama Hindu

Bagaimanakah Ciri - Ciri Sebenarnya Dari Zaman Kali Yuga Menurut Kitab Suci Hindu ?

Pantangan Dan Persembahan Yang Wajib Diketahui Dibalik Keramatnya Kajeng Kliwon

Proses Watangan Mapendem/Mengubur Mayat Yang Bangkit Kembali Dalam Calonarang

Apakah Lahir "Melik" Sebuah Anugrah Yang Beresiko Kematian ? Simak Selengkapnya

Beginilah Cara Mengintip Leak Yang Sedang Rapat/Meeting Di Malam Hari

Urutan Persembahyangan Yang Benar Dalam Agama Hindu Beserta Doa/Mantranya

Benarkah Menginjak Canang/Sesajen Di Bali Bisa Celaka atau Mendapat Kesialan ?